Daerah Khusus Ibukota Jakarta (
DKI Jakarta,
Jakarta Raya) adalah
ibu kota negara
Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat
provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut
Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama
Sunda Kelapa (sebelum 1527),
Jayakarta (
1527-
1619),
Batavia/Batauia, atau
Jaccatra (1619-1942),
Jakarta Toko Betsu Shi (1942-1945) dan
Djakarta (1945-1972). Di dunia internasional Jakarta juga mempunyai julukan seperti
J-Town,
[4] atau lebih populer lagi
The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding
New York City (
Big Apple) di Indonesia.
[5][6]
Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 10.187.595 jiwa (2011).
[1] Wilayah metropolitan Jakarta (
Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa,
[3] merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia.
Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat
ASEAN. Jakarta dilayani oleh dua bandar udara, yakni
Bandara Soekarno–Hatta dan
Bandara Halim Perdanakusuma, serta satu pelabuhan laut di
Tanjung Priok.
Etimologi
Nama
Jakarta digunakan sejak
masa pendudukan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas
Gemeente Batavia yang diresmikan pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1905.
[7] Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata
Jayakarta (
Dewanagari जयकृत), yang diberikan oleh orang-orang
Demak dan
Cirebon di bawah pimpinan
Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de Barros dalam
Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "
Xacatara dengan nama lain
Caravam (Karawang)".
[8] Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi
Van der Tuuk juga telah menyebut istilah
wong Jaketra,
[9] demikian pula nama
Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat
Sultan Banten[10]dan
Sajarah Banten (pupuh 45 dan 47)
[11] sebagaimana diteliti
Hoessein Djajadiningrat.
[12] Laporan
Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut
Pangeran Wijayakrama sebagai
koning van Jacatra (raja Jakarta).
[13]
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan
Kerajaan Sunda yang bernama
Sunda Kalapa, berlokasi di muara
Sungai Ciliwung. Ibu kota
Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh
Pakuan Pajajaran atau
Pajajaran (sekarang
Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki
Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam
bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari.
Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Tarumanagara pada
abad ke-5sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut Sundapura.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari
Tiongkok,
Jepang,
IndiaSelatan, dan
Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Bangsa
Portugis merupakan Bangsa
Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada
abad ke-16,
Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari
Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang
Sunda dalam cerita pantun seloka
Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda di sana termasuk syahbandar pelabuhan.
Penetapan hari jadi Jakarta tanggal
22 Juni oleh
Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh
Fatahillah pada tahun
1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi
Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari
Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu
Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di
Kesultanan Banten.
Berkas suara ini dibuat dari revisi tanggal 2012-05-30, dan tidak termasuk suntingan terbaru ke artikel. (
Bantuan suara)
Orang
Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun
1596. Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh
Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat
Kesultanan Banten. Pada
1619,
VOC dipimpin oleh
Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan
Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi
Batavia. Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. (
Lihat Batavia). Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari
Bali,
Sulawesi,
Maluku,
Tiongkok, dan
pesisir Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama
suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai
Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat
Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan,
Pekojan,
Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon,
Kampung Bali, dan
Manggarai.
Pada tanggal
9 Oktober 1740, terjadi kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
[14] Dengan selesainya
Koningsplein (
Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan. Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau
gemeente, yakni Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan
Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan Meester Cornelis (
Jatinegara) telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.
[15]
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom provinsi.
Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507. Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam
Provincie West Java disamping Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Jakarta (1945-sekarang)
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah
Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
[16]
Semenjak dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung permukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti
Kebayoran Baru,
Cempaka Putih,
Pulo Mas,
Tebet, dan
Pejompongan. Pusat-pusat permukiman juga banyak dibangun secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti
Perum Perumnas.
Pada masa pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain
Gelora Bung Karno,
Masjid Istiqlal, dan
Monumen Nasional. Pada masa ini pula
Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota, menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat permukiman besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah
Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade 1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur
Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi akibat kepadatan penduduk, seperti
banjir,
kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum yang memadai.
Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Saat ini, lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta.
[17] Perekonomian Jakarta terutama ditunjang oleh sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif, dan keuangan. Beberapa sentra perdagangan di Jakarta yang menjadi tempat perputaran uang cukup besar adalah kawasan Tanah Abang dan Glodok. Kedua kawasan ini masing-masing menjadi pusat perdagangan tekstil serta barang-barang elektronik, dengan sirkulasi ke seluruh Indonesia. Bahkan untuk barang tekstil dari Tanah Abang, banyak pula yang menjadi komoditi ekspor. Sedangkan untuk sektor keuangan, yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Jakarta adalah industri perbankan dan pasar modal. Untuk industri pasar modal, pada bulan Mei 2013 Bursa Efek Indonesia tercatat sebagai bursa yang memberikan keuntungan terbesar, setelah
Bursa Efek Tokyo.
[18] Pada bulan yang sama, kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia telah mencapai USD 510,98 miliar atau nomor dua tertinggi di kawasan ASEAN.
[19]
Pada tahun 2012, pendapatan per kapita masyarakat Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per tahun (USD 12,270).
[20] Sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan Rp 240,62 juta per tahun (USD 26,735), mencapai 20% dari jumlah penduduk. Di sini juga bermukim lebih dari separuh orang-orang kaya di Indonesia dengan penghasilan minimal USD 100,000 per tahun. Kekayaan mereka terutama ditopang oleh kenaikan harga saham serta properti yang cukup signifikan. Saat ini Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan harga properti mewah yang tertinggi di dunia, yakni mencapai 38,1%.
[21] Selain hunian mewah, pertumbuhan properti Jakarta juga ditopang oleh penjualan dan penyewaan ruang kantor. Pada periode 2009-2012, pembangunan gedung-gedung pencakar langit (di atas 150 meter) di Jakarta mencapai 87,5%. Hal ini telah menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan pencakar langit tercepat di dunia.
[22] Pada tahun 2020, diperkirakan jumlah pencakar langit di Jakarta akan mencapai 250 unit. Dan pada saat itu Jakarta telah memiliki gedung tertinggi di Asia Tenggara dengan ketinggian mencapai 638 meter (The Signature Tower).
Peta pola induk transportasi metropolitan Jakarta
Di DKI Jakarta, tersedia jaringan jalan raya dan
jalan tol yang melayani seluruh kota, namun perkembangan jumlah mobil dengan jumlah jalan sangatlah timpang (5-10% dengan 4-5%).
Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 titik simpang rawan macet di Jakarta. Definisi rawan macet adalah arus tidak stabil, kecepatan rendah serta antrean panjang. Selain oleh warga Jakarta, kemacetan juga diperparah oleh para pelaju dari kota-kota di sekitar Jakarta seperti
Depok,
Bekasi,
Tangerang, dan
Bogor yang bekerja di Jakarta. Untuk di dalam kota, kemacetan dapat dilihat di
Jalan Sudirman,
Jalan Thamrin,
Jalan Rasuna Said,
Jalan Satrio, dan
Jalan Gatot Subroto. Kemacetan sering terjadi pada pagi dan sore hari, yakni disaat jam pergi dan pulang kantor.
Untuk melayani mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah menyediakan sarana bus
PPD. Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh pihak swasta, seperti Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, dan Bianglala. Bus-bus ini melayani rute yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota, antara lain Pulogadung, Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung Priok, Lebak Bulus, Rawamangun, dan Kampung Melayu. Untuk angkutan lingkungan, terdapat angkutan kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan rute dari terminal ke lingkungan sekitar terminal. Selain itu ada pula
ojek,
bajaj, dan
bemo untuk angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah lainnya di Jakarta yang menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan Jakarta Kota, pengendara ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan
becak masih banyak dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di Bekasi, Tangerang, dan Depok.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memulai pembangunan kereta bawah tanah (
subway) dan MRT Jakarta pada Tahun 2013. Subway jalur
Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia sepanjang 15 km ditargetkan beroperasi pada 2017. Jalur kereta monorel juga sedang dipersiapkan melayani jalur Semanggi - Roxy yang dibiayai swasta dan jalur Kuningan - Cawang - Bekasi - Bandara Soekarno Hatta yang dibiayai pemerintah pusat. Untuk lintasan kereta api, pemerintah pusat sedang menyiapkan
double track pada jalur lintasan kereta api Manggarai-
Cikarang. Selain itu juga, saat ini sedang dibangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng.
Bus Transjakarta (
Busway).
Sejak tahun 2004, Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah menghadirkan layanan transportasi umum yang dikenal dengan
TransJakarta. Layanan ini menggunakan bus AC dan halte yang berada di jalur khusus. Saat ini ada dua belas koridor Transjakarta yang telah beroperasi, yaitu :
Selain bus kota, angkutan kota, becak dan bus
Transjakarta, sarana transportasi andalan masyarakat
Jakarta adalah
kereta rel listrik atau yang biasa dikenal dengan
KRL Jabotabek. Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga malam hari, melayani masyrakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran Jabodetabek. Ada beberapa jalur
kereta rel listrik, yakni
- Jalur Merah Jakarta Kota - Bogor, lewat Gambir, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok.
- Jalur Jingga Bogor - Jatinegara, lewat Gambir, Jakarta Kota, dan Pasar Senen.
- Jalur Biru Jakarta Kota - Bekasi, lewat Gambir, Manggarai, dan Jatinegara.
- Jalur Hijau Tanah Abang - Maja, lewat Kebayoran Lama dan Serpong.
- Jalur Coklat Duri - Tangerang, lewat Rawa Buaya.
- Jalur Ungu Jakarta Kota - Pelabuhan Tanjung Priok.
- Jalur Pengumpan.
Angkutan Sungai, atau lebih populer dengan sebutan Waterways, adalah sebuah sistem transportasi alterntif melalui sungai di Jakarta, Indonesia. Sistem transportasi ini diresmikan penggunaannya oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada tanggal 6 Juni 2007. Sistem ini merupakan bagian dari penataan sistem transportasi di Jakarta yang disebut Pola Transportasi Makro (PTM). Dalam PTM disebutkan bahwa arah penataan sistem transportasi merupakan integrasi beberapa model transportasi yang meliputi Bus Rapid Transit (BRT), Light Rapid Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan Angkutan Sungai (Waterways).[1]
Waterways mulai dioperasikan dan diintegrasikan dalam transportasi makro Jakarta setelah peresmian rute Halimun-Karet sepanjang 1,7 kilometer oleh Gubernur Sutiyoso pada 6 Juni 2007. Rute ini merupakan bagian dari perencanaan rute Manggarai-Karet sepanjang 3,6 kilometer. Waterways merupakan kelanjutan dari pengoperasian sistem transportasi TransJakarta. Untuk mengawali Waterways, Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta mengoperasikan dua unit kapal yang masing-masing berkapasitas 28 orang yang disebut KM Kerapu III dan KM Kerapu IV yang berkecepatan maksimal 8 knot
Sebagai salah satu kota metropolitan dunia, Jakarta telah memiliki infrastruktur penunjang berupa jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, gas, serat optik, bandara, dan pelabuhan. Saat ini rasio jalan di Jakarta mencapai 6,2% dari luas wilayahnya.
[23] Selain jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan, Jakarta juga didukung oleh jaringan
Jalan Tol Lingkar Dalam,
Jalan Tol Lingkar Luar,
Jalan Tol Jagorawi, dan
Jalan Tol Ulujami-Serpong. Pemerintah juga berencana akan membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang mengelilingi kota Jakarta dari Bandara Soekarno Hatta-Tangerang-Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok.
Untuk ke luar pulau dan luar negeri,
Jakarta memiliki satu pelabuhan laut di
Tanjung Priok dan dua bandar udara yaitu:
Untuk pengadaan air bersih, saat ini Jakarta dilayani oleh dua perusahaan asing, yakni Thames Jaya (
Inggris) untuk wilayah sebelah timur Sungai Ciliwung, dan PAM Lyonnaise Jaya (
Prancis) untuk wilayah sebelah barat Sungai Ciliwung. Pada tahun 2010, kedua perusahaan ini hanya menyuplai air bersih kepada 44% penduduk Jakarta.
[24]
Historical population |
Tahun | Jumlah Pend. | ±% |
1870 | 65.000 | — |
1875 | 99.100 | +52.5% |
1880 | 102.900 | +3.8% |
1890 | 105.100 | +2.1% |
1895 | 114.600 | +9.0% |
1901 | 115.900 | +1.1% |
1905 | 138.600 | +19.6% |
1918 | 234.700 | +69.3% |
1920 | 253.800 | +8.1% |
1925 | 290.400 | +14.4% |
1930 | 435.184 | +49.9% |
1940 | 533.000 | +22.5% |
1945 | 600.000 | +12.6% |
1950 | 1.733.600 | +188.9% |
1959 | 2.814.000 | +62.3% |
1961 | 2.906.533 | +3.3% |
1971 | 4.546.492 | +56.4% |
1980 | 6.503.449 | +43.0% |
1990 | 8.259.639 | +27.0% |
2000 | 8.384.853 | +1.5% |
2005 | 8.540.306 | +1.9% |
2010 | 9.607.787 | +12.5% |
Berdasarkan data BPS pada tahun 2011, jumlah penduduk Jakarta adalah 10.187.595 jiwa. Namun pada siang hari, angka tersebut dapat bertambah seiring datangnya para pekerja dari
kota satelit seperti
Bekasi,
Tangerang,
Bogor, dan
Depok.
Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalah
Islam (84,4%),
Kristen Protestan (6,2 %),
Katolik (5,7 %),
Hindu (1,2 %), dan
Buddha (3,5 %)
[25] Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat
Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%)
[26] Menurut Cribb, pada tahun 1971 penganut agama
Kong Hu Cu secara relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam
agama yang diakui pemerintah.
Bagi umat Hindu yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya, terdapat Pura Adhitya Jaya yang berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, dan Pura Segara di Cilincing, Jakarta Utara. Rumah ibadah umat Buddha antara lain Vihara Dhammacakka Jaya di
Sunter,
Vihara Theravada Buddha Sasana di
Kelapa Gading, dan Vihara Silaparamitha di Cipinang Jaya. Sedangkan bagi penganut Konghucu terdapat
Kelenteng Jin Tek Yin. Jakarta juga memiliki satu
sinagoga yang digunakan oleh pekerja asing Yahudi.
[butuh rujukan]
Berdasarkan sensus penduduk tahun
2000, tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri dari orang
Jawa sebanyak 35,16%,
Betawi(27,65%),
Sunda (15,27%),
Tionghoa (5,53%),
Batak (3,61%),
Minangkabau (3,18%),
Melayu (1,62%),
Bugis (0,59%),
Madura (0,57%),
Banten (0,25%), dan
Banjar (0,1%)
[27]
Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta.
Suku Jawa merupakan etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti
Cengkareng,
Kebon Jeruk,
Pasar Minggu, dan
Pulo Gadung[28]
Orang
Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal mengelompok di daerah-daerah permukiman yang dikenal dengan istilah
Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di
Glodok,
Pinangsia, dan
Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru di wilayah
Kelapa Gading,
Pluit, dan
Sunter. Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang.
[29] Disamping etnis Tionghoa, etnis
Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta.
Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah
Tanjung Priok. Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan
Portugis, serta orang-orang yang berasal dari
Luzon,
Filipina.
[28]
Etnis di Jakarta pada tahun 1930, 1961, dan 2000
Etnis | Tahun 1930 [30] | Tahun 1961 [28] | Tahun 2000 [31] |
Jawa | 11,01% | 25,4% * | 35,16% |
Betawi | 36,19% | 22,9% | 27,65% |
Sunda | 25,37% | 32,85% | 15,27% |
Tionghoa | 14,67% | 10,1% | 5,53% |
Batak | 0,23% | 1,0% | 3,61% |
Minangkabau | 0,60% | 2,1% | 3,18% |
Melayu | 1,13% | 2,8% | 1,62% |
Bugis | -- | 0,6% | 0,59% |
Madura | 0,05% | -- | 0,57 |
Banten | -- | -- | 0,25 |
Banjar | -- | 0,20 | 0,10 |
Minahasa | 0,70% | 0,70 | -- |
Lain-lain | 10,05% | 1,35% | 6,47% |
* Catatan: Termasuk Suku Madura di dalamnya |
Jakarta berlokasi di sebelah utara
Pulau Jawa, di muara
Ciliwung,
Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter
dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke
Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi
Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan
provinsi Banten.
Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di
Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota.
Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter dengan suhu rata-rata 27 °C. Curah hujan antara bulan Januari dan awal Februari sangat tinggi, pada saat itulah Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 milimeter . Bulan September dan awal oktober adalah hari-hari yang sangat panas di Jakata, suhu udara dapat mencapai 40 °C .
[32]. Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F).
[33]
[sembunyikan]Data iklim Jakarta |
Bulan | Jan | Feb | Mar | Apr | Mei | Jun | Jul | Agt | Sep | Okt | Nov | Des | Tahun |
Rata-rata tertinggi °C (°F) | 29.9 | 30.3 | 31.5 | 32.5 | 32.5 | 31.4 | 32.3 | 32.0 | 33.0 | 32.7 | 31.3 | 32.0 | 31.8 |
Rata-rata terendah °C (°F) | 24.2 | 24.3 | 25.2 | 25.1 | 25.4 | 24.8 | 25.1 | 24.9 | 25.5 | 25.5 | 24.9 | 24.9 | 25.0 |
Presipitasi mm (inci) | 384.7 | 309.8 | 100.3 | 257.8 | 133.4 | 83.1 | 30.8 | 34.2 | 29.0 | 33.1 | 175.0 | 84.0 | 1655.2 |
Rata-rata hari hujan | 26 | 20 | 15 | 18 | 13 | 17 | 5 | 24 | 6 | 9 | 22 | 12 | — |
Sumber: World Meteorological Organisation [34] |
Jakarta merupakan salah satu kota terbersih di Indonesia. Pada tahun
2010, lima wilayah kota di Jakarta meraih penghargaan Bangun Praja kategori "Kota Terbersih dan Terindah di Indonesia" (dulu disebut "Adipura"). Salah satu faktor penentu keberhasilan tersebut adalah keberadaan kawasan
Menteng dan
Kebayoran Baru yang asri dan bersih.
Selain Menteng dan Kebayoran Baru, banyak wilayah lain di Jakarta yang sudah bersih dan teratur. Permukiman ini biasanya dikembangkan oleh pengembang swasta, dan menjadi tempat tinggal masyarakat kelas menengah. Pondok Indah, Kelapa Gading, Pulo Mas, dan Cempaka Putih, adalah beberapa wilayah permukiman yang bersih dan teratur. Namun di beberapa wilayah lain Jakarta, masih nampak permukiman kumuh yang belum teratur. Permukiman kumuh ini berupa perkampungan dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, serta banyaknya rumah yang dibangun secara berhimpitan di dalam gang-gang sempit. Beberapa wilayah di Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi antara lain,
Tanjung Priok,
Johar Baru,
Pademangan,
Sawah Besar, dan
Tambora.
Jakarta memiliki banyak taman kota yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Taman
Monas atau Taman Medan Merdeka merupakan taman terluas yang terletak di jantung Jakarta. Di tengah taman berdiri
Monumen Nasional yang dibangun pada tahun 1963. Taman terbuka ini dibuat oleh Gubernur Jenderal
Herman Willem Daendels (1870) dan selesai pada tahun 1910 dengan nama
Koningsplein. Di taman ini terdapat beberapa ekor kijang dan 33 pohon yang melambangkan 33 provinsi di Indonesia.
[35]
Taman Suropati terletak di kecamatan
Menteng,
Jakarta Pusat. Taman berbentuk oval dengan luas 16,322 m2 ini, dikelilingi oleh beberapa bangunan Belanda kuno. Di taman tersebut terdapat beberapa patung modern karya artis-artis
ASEAN, yang memberikan sebutan lain bagi taman tersebut, yaitu
"Taman persahabatan seniman ASEAN".
[36]
Taman Lapangan Banteng merupakan taman lain yang terletak di Gambir, Jakarta Pusat. Luasnya sekitar 4,5 ha. Di sini terdapat Monumen Pembebasan Irian Barat. Pada tahun 1970-an, taman ini digunakan sebagai terminal bus. Kemudian pada tahun 1993, taman ini kembali diubah menjadi ruang publik, tempat rekreasi, dan juga kadang-kadang sebagai tempat pertunjukan seni.
[37]
Peta DKI Jakarta tanpa Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Dasar hukum bagi DKI Jakarta adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007, tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini menggantikan UU Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta serta UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta yang keduanya tidak berlaku lagi.
Jakarta berstatus setingkat provinsi dan dipimpin oleh seorang gubernur. Berbeda dengan provinsi lainnya, Jakarta hanya memiliki pembagian di bawahnya berupa kota administratif dan kabupaten administratif, yang berarti tidak memiliki perwakilan rakyat tersendiri.
Daftar kepala daerah yang pernah memerintah DKI Jakarta
11 Makanan Khas Betawi (Jakarta) Terpopuler
Tim Digiku
Betawi merupakan sebutan untuk suku asli kota Jakarta. Sejarah betawi yang begitu dinamis mempengaruhi warisan kulinernya. Makanan Khas Betawi dipengaruhi oleh budaya Cina, Eropa, dan Arab. Citarasa gurih dan sedap merupakan ciri khas khas makanan Betawi. Sebenarnya, Betawi memiliki banyak makanan khas yang lezat. Namun, seiring perkembangan pesat kota Metropolitan Jakarta yang sekaligus ibukota negara Indonesia ini, Makanan Khas Betawi sudah banyak yang langka bahkan nyaris punah1). Oleh karena itu, penting sekali untuk melestarikan warisan kuliner nenek moyang. Inilah 11 Makanan Khas Betawi Terpopuler versi digiku.com :
1. Kerak Telor2)
Kerak telor merupakan makanan khas Betawi yang sangat terkenal terutama pada saat acara Pekan Raya Jakarta. Kerak telor hampir mirip dengan martabak, perbedaanya terletak pada isi dan cara memuatnya. Isi kerak telor adalah ketan dan ubi. Cara memasak kerak telor, yaitu dengan dipanaskan di atas tungku arang.
2. Nasi Uduk1)
Hampir semua masyaraka Jakarta (sekalipun bukan orang Betawi) mengenal nasi uduk. Nasi uduk sangat familiar sebagai sarapan di Jakarta. Mirip dengan nasi liwet, nasi uduk yang terbuat dari beras putih dimasak bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu nasi uduk tersebut seperti garam, santan, daun serai, daun salam, dan daun jeruk. Rasa nasi uduk sangat lezat dan gurih. Nasi uduk biasa dimakan dengan telur dadar yang diiris, semur jengkol, ayam goreng, empal, kentang balado, dan sambal kacang.
3. Nasi Ulam3)
Nasi ulam merupakan makanan khas Betawi yang juga mendapat pengaruh dari budaya kuliner Cina. Nasi ulam biasanya memakai nasi pera yang disiram dengan semur kentang/ semur tahu/ semur telur. Nasi ulam juga ditambah dengan cumi asin goreng, bihun goreng, telur dadar iris, dan perkedel kentang. Nasi ulam bertambah nikmat dengan tambahan daun kemangi, sambal, bawang goreng, dan taburan kacang tanah tumbuk.
4. Ketupat Sayur/ Lontong Sayur3)
Ketupat sayur merupakan makanan khas Betawi yang biasa dijadikan sebagai menu sarapan. Ketupat sayur terbuat dari irisan ketupat/ lontong dengan kuah santan yang gurih. Taburan ketupat sayur berupa bawang goreng, kacang kedelai, dan kerupuk/emping
5. Gado-gado3)
Gado-gado merupakan salah satu kuliner kebanggan Indonesia. Orang asing menyebut gado-gado dengan sebutan ‘seladanya orang Indonesia’. Gado-gado berisi lontong/ ketupat, sayuran, kerupuk dan bawang goreng. Gado-gado bisa disantap pada saat sarapan, makan siang, ataupun makan malam. Di Jakarta, banyak sekali penjual gado-gado.
6. Ketoprak2)
Ketoprak terbuat dari ketupat atau lontong yang berisi bihun, toge, dan tahu. Ketoprak Betawi dengan rasa yang lezat ini disiram dan diaduk dengan sambal kacang. Ketoprak juga ditaburi dengan kerupuk. Makanan khas Betawi ini termasuk makanan berat yang agak ‘ringan’.
7. Semur Jengkol1)
Semur jengkol merupakan satu-satunya makanan khas betawi yang tak terbantahkan lagi keasliannya. Masakan khas betawi yang lain mungkin ada kembarannya di daerah lain tetapi semur jengkol hanya ada di daerah Betawi saja. Orang Betawi mampu membuat jengkol menjadi hidangan semur yang lezat. Untuk menghilangkan baunya, jengkol biasa di rendam di air kapur atau air dari rebusan tangkai padi. Dahulu, daerah Pondok Gede dan Lubang Buaya merupakan daerah di Jakarta yang banyak terdapat pohon jengkol.
8. Laksa Betawi1)
Laksa berasal dari daerah Cibinong yang kemudian merambah ke Jakarta dengan sebutan Laksa Betawi. Pengusaha Laksa Betawi biasanya orang Cina Betawi. Laksa merupakan jenis makanan sepinggan yang berkuah. Laksa berisi bihun, telur, perkedel, daun kemangi, dan daun kucai. Kuliner yang mendapat pengaruh dari Cina ini memiliki citarasa yang gurih dan manis.
9. Pindang Bandeng1)
Pindang bandeng hampir menyerupai semur tetapi ada penambahan belimbing wuluh. Rasa pindang bandeng sangat lezat dan segar. Sama dengan nasi uduk, biasanya pindang bandeng disantap saat sarapan dan dimasak pada sore hari sebelumnya.
10. Soto Betawi2)
Soto Betawi berkuah santan dengan isi daging sapi, tomat, dan kentang. Rasa soto betawi ini sangat lezat dan gurih. Daging soto betawi terasa empuk, dan kuahnya terasa gurih. Makanan sepinggan khas betawi ini sangat cocok disantap dengan nasi putih sebagai makan siang.
11. Soto Tangkar1)
Makanan khas yang satu ini lahir pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, orang Betawi hanya mampu membeli iga sapi yang sedikit dagingnya (tangkar). Kemudian, orang Betawi menyulapnya menjadi soto yang enak. Kini, soto tangkar ditambah dengan daging dan jeroan. Soto tangkar berkuah santan tetapi rasanya tidak terlalu ‘berat’.
Sumber :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta
- http://digiku.com/makanan-khas-betawi-terpopuler/
- Erwin LT, Erwin A. 2008. Peta 100 Tempat Makan Makanan Khas Betawi di Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- Khadafi R. 2008. Atlas Kuliner Nusantara Makanan Spektakuler 33 Provinsi. Jakarta: Bukune.
- Habsari R. 2007. Info Boga Jakarta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama